KOMPAS.com — Setiap orang pasti pernah memiliki
pengalaman yang tidak menyenangkan, dan sebagian dari pengalaman
tersebut bahkan bersifat traumatis. Berangkat dari itulah, sebuah studi baru yang dipublikasi dalam jurnal Nature mencari cara untuk "menghapus" memori buruk sehingga membantu orang untuk memperbaiki kesehatan mentalnya.
Para peneliti menemukan, menghapus memori mungkin dapat dilakukan dengan menggunakan electroconvulsive therapy
(ECT). ECT selama ini digunakan untuk mengobati gejala depresi parah.
ECT bekerja dengan memicu penyusutan pada otak sehingga dapat
meringankan gejala depresi.
Kendati demikian, efek samping dari
ECT adalah dapat menghilangkan sebagian memori. Namun, efek samping
tersebut justru dimanfaatkan peneliti untuk menghilangkan sebagian
memori yang berdampak traumatis.
"Ini terdengar seperti science fiction,
seperti di film ada orang kehilangan ingatannya sehingga tidak saling
mencinta lagi, dan seseorang yang kehilangan memorinya untuk memulai
sebuah kehidupan yang baru," ujar Keith Ablow, psikiater dari Johns Hopkins University, Amerika Serikat, yang tidak terlibat dalam studi.
Studi yang dipublikasi dalam jurnal Nature
tersebut melakukan percobaan pada orang yang menjalani prosedur ECT
untuk mengobati depresi. Sebelum menjalani prosedur, pasien diceritakan
tentang kisah yang traumatis, seperti seorang anak yang harus menjalani
amputasi kaki, dan sebagainya. Seminggu kemudian, setelah menjalani ECT,
mereka diminta untuk menceritakan kembali kisah tersebut.
Namun
ternyata, mereka tidak mampu menceritakannya kembali. Dengan kata lain,
kemampuan mereka untuk mengingat menurun drastis sehingga dipastikan
ada penyusutan pada otak.
Ini artinya, kini manusia sudah dapat
menemukan cara untuk menghilangkan memori buruk yang pernah menimpa
mereka. Misalnya, memori tentang kecelakaan atau perang yang menimbulkan
trauma dapat "dihapus" dari otak seseorang.
Kendati demikian, psikiater M Scott Peck
memperingatkan untuk selalu melihat sisi negatif dari sebuah penemuan.
Ketika "penghapusan" memori tersebut terlalu jauh dilakukan,
dikhawatirkan bukan hanya rasa sakit yang "hilang", melainkan juga
kemampuan merasakan hal lainnya, termasuk kenikmatan.